Peran Media Masa
Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam
masyarakat modern tidak ada yang menyangkal, menurut McQuail dalam bukunya Mass
Communication Theories (2000 : 66), ada enam prespektif dalam hal melihat peran
media.
Pertama, melihat media massa seabagai window on event and
experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat
apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk
mengetahui berbagai peristiwa.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event
in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai
peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya.
Karenanya para pengelola media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media
penuh dengan kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena
memang menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta,
terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan
framing dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh
para profesional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui
apa yang mereka inginkan.
Ketiga, memandang media massa sebagai filter, atau
gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak.
Media senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content yang lain
berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan” oleh media
tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian .
Keempat, media massa acapkali pula dipandang sebagai guide,
penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas
berbagai ketidakpastian, atau alternative yang beragam.
Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk
mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga
memungkin terjadinya tanggapan dan umpan balik.
Keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya
sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang
memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif.
Pendeknya, semua itu ingin menunjukkkan, peran media dalam
kehidupan social bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan atau
hiburan, tetapi isi dan informasi yang disajikan, mempunyai peran yang
signifikan dalam proses sosial. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi
khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas
subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh
isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak
terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan
memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Karenanya media
massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas
informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian media massa.
GLOBALISASI MEDIA
Bertolak dari besarnya peran media massa dalam mempengaruhi
pemikiran khalayaknya, tentulah perkembangan media massa di Indonesia pada
massa akan datang harus dipikirkan lagi. Apalagi menghadapi globalisasi media massa
yang tak terelakan lagi.
Globalisasi media massa merupakan proses yang secara nature
terjadi, sebagaimana jatuhnya sinar matahari, sebagaimana jatuhnya hujan atau
meteor. Pendekatan profesional menjadi kata kunci, masalah dasarnya mudah
diterka. Pada titik-titik tertentu, terjadi benturan antar budaya dari luar
negeri yang tak dikenal oleh bangsa Indonesia. Jadi kekhawatiran besar
terasakan benar adanya ancaman, serbuan, penaklukan, pelunturan karena nilai-nilai
luhur dalam paham kebangsaan. Imbasnya adalah munculnya majalah-majalah Amerika
dan Eropa versi Indonesia seperti : Bazaar, Cosmopolitan, Spice, FHM (For Him
Magazine), Good Housekeeping, Trax dan sebagainya. Begitu pula membajirnya
program-program tayangan.
Lantas bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia
menyikapi fenomena transformasi media terhadap perilaku masyarakat dan budaya?
Bukankah globalisasi media dengan segala nilai yang dibawanya seperti lewat
televisi, radio, majalah, Koran, buku, film, vcd dan kini lewat internet
sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan masyarakat?
Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalamai serbuan yang hebat dari berbagai produk pornografi berupa tabloid, majalah, buku bacaan di media cetak, televisi, radio dan terutama adalah peredaran bebas VCD. Baik yang datang dari luar negeri maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media pornografis bukan barang baru bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan beberapa orang asing menganggap Indonesia sebagai “surga pornografi” karena sangat mudahnya mendapatkan produk-produk pornografi dan harganya pun murah.
Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalamai serbuan yang hebat dari berbagai produk pornografi berupa tabloid, majalah, buku bacaan di media cetak, televisi, radio dan terutama adalah peredaran bebas VCD. Baik yang datang dari luar negeri maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media pornografis bukan barang baru bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan beberapa orang asing menganggap Indonesia sebagai “surga pornografi” karena sangat mudahnya mendapatkan produk-produk pornografi dan harganya pun murah.
Kebebasan pers yang muncul pada awal reformasi ternyata
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang tidak bertanggungjawab, untuk menerbitkan
produk-produk pornografi. Mereka menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang
dijamin sebagai hak asasi warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran serta
pembredelan. Padahal dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 itu sendiri,
mencantumkan bahwa pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat (pasal 5 ayat 1).
Dalam media audio-visualpun, ada Undang-undang yang secara
spesifik mengatur pornografi, yaitu Undang-undang Perfilman dan Undang-undang
Penyiaran. Dalam UU Perfilman 1992 pasal 33 dinyatakan bahwa setiap film dan
reklame film yang akan diedarkan atau dipertunjukkkan di Indonesia, wajib
sensor terlebih dahulu. Pasal 19 dari UU ini menyebutkan bahwa LSF (Lembaga
Sensor Film) harus menolak sebuah film yang menonjolkan adegan seks lebih dari
50 % jam tayang. Dalam UU Penyiaran pasal 36 dinyatakan bahwa isi siaran
televisi dan radio dilarang menonjolkan unsur cabul (ayat 5) dan dilarang
merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat
manusia Indonesia (ayat 6).
Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa
budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui
media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi
tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita
menyadari belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai
bangsa berada. Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang dibawa
media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku.
Terutama masalah pornografi, dimana sekarang wanita-wanita
Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa yang dalam
berbusana cenderung minim, kemudian ditiru habis-habisan. Sehingga kalau kita
berjalan-jalan di mal atau tempat publik sangat mudah menemui wanita Indonesia
yang berpakaian serba minim mengumbar aurat. Di mana budaya itu sangat
bertentangan dengan norma yang ada di Indonesia. Belum lagi maraknya kehidupan
free sex di kalangan remaja masa kini. Terbukti dengan adanya video porno yang
pemerannya adalah orang-orang Indonesia.
Di sini pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa
bodoh melihat perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Menghimbau dan kalau
perlu melarang berbagai sepak terjang masyarakt yang berperilaku tidak
semestinya. Misalnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menyarankan agar televisi
tidak menayangkan goyang erotis dengan puser atau perut kelihatan. Ternyata
dampaknya cukup terasa, banyak televisi yang akhirnya tidak menayangkan para
artis yang berpakaian minim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar