SEJARAH
CIREBON
Asal kota Cirebon dimulai pada abad ke 14 di pantai utara
Jawa Barat ada desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di
lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa
kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh menempatkan seorang sebagai pengurus
pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di
singgahi kapal-kapal dagang dari luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk
berniaga dengan penduduk setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil
pertanian dan terasi.Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan Caruban yang berarti campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.
Keraton
Kasepuhan adalah
keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut
arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton
ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton ini
memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi
kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong.
Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1
Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam
keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya
terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton
Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh [[Pangeran Mas Mochammad Arifin II]
(cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati
pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton
Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas
Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal
dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan
Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab
Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang
bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan
Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama
Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang
diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di
alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap
rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat
Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali
yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di
sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar — sekarang
adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk
Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar
di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada
masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang,
model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di
depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat
masjid.
Sebelum
memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di
sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat
berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut
pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang
merupakan tempat para perwira keraton ketika
diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki
jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi
dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil
atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah
yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak
seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun
1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran
depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai.
Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti
Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit.
Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama
Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala
dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun
1451.
saka yang
merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek
Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami
pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat
piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina
dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5
bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama
yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6
buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya
berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini
merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan
hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan
jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini
tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama
bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat
Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang
bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring
Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen,
tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah
sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong
Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul
Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu
batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga
berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya
Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi
Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar